Selasa, 16 Oktober 2012

Pengembangan Keterampilan Membaca


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kurikulum merupakan unsur penting dalam kegiatan pembelajaran dengan model  pendidikan apapun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya bagi para perencana dan pelaksana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya peran kurikulum, maka kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana pendidikan.
Fenomena lapangan menunjukkan bahwa banyak para pelaksana pendidikan yang memahami kurikulum hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa dalam kurun waktu tertentu guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Jika kurikulum hanya dipahami secara sempit, maka dinamika proses belajar mengajar serta kreativitas guru dan siswa terbatas. Guru hanya menyampaikan materi sebatas pokok bahasan yang termuat dalam kurikulum untuk mencapai sasaran materi yang dicanangkan pada buku kurikulum itu saja, tanpa memperhatikan aspek lain yang telah berkembang sedemikian cepat di masyarakat. Kurikulum yang dianggap kurang adaptif terhadap perkembangan dan perubahan zaman serta kemajuan tuntutan masyarakat, tentunya akan mengalami perubahan-perubahan. Menurut Soetopo (1993:45) bahwa perubahan kurikulum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat. Di satu pihak perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan memicu ditemukannya kembali teori-teori lama, sedang dilain pihak pula menimbulkan ditemukannya teori dan cara-cara baru didalam proses belajar-mengajar. Kedua perkembangan tersebut dengan sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.
2.      Pertumbuhan penduduk yang pesat. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka bertambah pul orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan cara atau pendekatan yang telah digunakan sebelumnya dalam pendidikan perlu diubah agar dapat memenuhi akan pendidikan yang semakin besar.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan diharapkan dapat mempersiapkan para peserta didik menghadapi tantangan masa depan mempersiapkan para peserta didik menghadapi tantangan masa depan dengan berbekal hidup mandiri, cerdas, kritis, rasional, dan kreatif sekaligus memiliki keunggulan kompetitif dan kooperatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sendiri merupakan refleksi, pemikiran, atau pengkajian ulang penelitian terhadap kurikulum pendidikan dasar dan menengah tahun 2005 serta pelaksanaannya, dan juga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikenal sebagai rujukan pengalaman belajar yang diarahkan bagi tercapainya penguasaan  kompetensi.
Sementara kompetensi merupakan perwujudan dari keterampilan hidup yang harus dikuasaai oleh peserta didik yang pada tingkat nasional dikembangkan kompetensi untuk setiap jenjang pendidikan, dan berdasarkan itu kemudian dikembangkan kurikulum yang disesuaaikan dengan kondisi setempat. Sehingga dengan pendekatan tersebut, setiap daerah atau satuan pendidikan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengembangkan kurikulum beserta strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi setempat.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup kompunen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi; 1) aspek mendengarkan, 2) aspek berbicara, 3) aspek membaca, 4) aspek menulis. Aspek berbicara, meliputi: penggunaan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara presentasi laporan, diskusi, protoler, dan pidato serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek novel remaja, puisi, dan drama.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dengan menitikberatkan perhatian pada Implemantasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka penulis tertarik menulis makalah dengan judul Standar Kompetensi & Kompetensi dasar  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tingkat SMA Pada Aspek Keterampilan Berbicara dan Metode Pembelajarannya”.
 
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah konsep dasar keterampilan berbicara ?
2.      Bagaimanakah Standar Kompetensi Keterampilan Berbicara Dalam Kurikulum KTSP Tingkat SMA ?
3.      Bagaimanakah metode pembelajaran pada aspek keterampilanberbicara?

3.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui konsep dasar keterampilan berbicara.
2.      Mengetahui Standar Kompetensi Keterampilan Berbicara Dalam Kurikulum KTSP Tingkat SMA.
3.      Mengetahui metode pembelajaran pada aspek keterampilan berbicara.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Berbicara

1. Berbicara antara Seni dan Ekspresi
Banyak orang yang beranggapan bahwa kepandaian berbicara merupakan bakat dan keturunan. Artinya, kepintaran seseorang dalam berbicara itu karena bakat yang dimilikinya. Tanpa adanya bakat seseorang akan sulit memiliki keterampilan berbicara. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, dalam arti bahwa kemampuan berbicara yang dimiliki seseorang tidak disebabkan oleh bakat, namun tidak semua orang—meskipun sudah berlatih secara maksimal—memiliki “seni” berbicara yang baik.
Ada dua hal yang menentukan seseorang memiliki keterampilan berbahasa yang baik, yaitu kemauan dan pelatihan. Tanpa adanya kemauan seseorang tidak akan mungkin memiliki keterampilan berbicara. Tanpa adanya kemauan tidak mungkin seseorang mau berlatih berbicara. Oleh karena itu, faktor yang kedua, yaitu pelatihan, keberadaannya sangat bergantung kepada faktor pertama, yaitu kemauan. Meskipun demikian, seseorang yang memiliki kemauan tinggi untuk dapat berbicara dengan baik tanpa disertai dengan pelatihan, juga mustahil keterampilan berbicara dapat dimilikinya.
Sampai saat ini masih banyak orang yang memandang berbicara “hanya” sebagai sebuah keterampilan, seperti keterampilan yang lain. Oleh karena itu, pandangan dan perlakuan terhadap berbicara pun sebatas pada pelatihan sebagai satu-satunya cara pemerolehan. Pandangan ini melahirkan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam berbicara, namun hanya sebatas secara teknis. Orang dikatakan mampu berbicara jika orang tersebut mampu mengungkapkan gagasan, pikiran, serta keinginannya secara lisan.
Pandangan tersebut tidak salah, tetapi terlalu sempit. Selain sebagai keterampilan (secara teknis) berbicara juga dapat dipandang dari sudut yang lain, yaitu berbicara sebagai seni dan berbicara sebagai wujud ekspresi.
Sebagai keterampilan, berbicara berdampingan dengan keterampilan berbahasa yang lain, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterapilan menulis.
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang bersifat produktif  yang selain berkaitan dengan kompetensi psikis, juga berkaitan dengan kompetensi fisik. Orang melihat keterampilan dari hasil yang dilakukan seseorang. Tidak ada cara lain untuk memperoleh keterampilan kecuali dengan pelatihan. Pelatihan, dengan demikian, merupakan kunci pokok berhasil tidaknya keterampilan yang dimiliki oleh seseorang. Pelatihan di sini dimaksudkan sebagai pelatihan secara fisik yang dibarengi dengan kesungguhan secara psikis.
Pada sisi lain berbicara dapat juga dipandang sebagai seni. Kita tentu sering mendengar istilah retorika yang selalu diartikan sebagai seni berbicara. Dalam istilah seni tersirat makna keindahan. Oleh karena itu, keterampilan berbicara dilihat dari sudut pandang seni, haruslah merupakan keterampilan yang penuh dengan unsur keindahan. Berbicara tidak sekadar aktivitas fisik, yaitu mengucapkan kata-kata atau melisankan pikiran, perasaan, dan gagasan; tetapi berbicara harus dibarengi dengan keindahan. Keindahan mencakupi dua hal, yaitu indah dari isinya dan indah dari cara penyampaiannya. Indah dari isinya berkaitan dengan apa yang disampaikan, yang memunculkan kriteria berbobot atau tidak, bermanfaat bagi pendengar atau tidak, baru atau tidak, dan sebagainya; sedangkan indah dari cara penyampaiannya mencakupi kesungguhan, vokal, bahasa, dan penampilan.
Dengan demikian, dari sudut pandang berbicara sebagai seni ukuran baik tidaknya keterampilan berbicara dapat dilihat dari isi dan cara penyampaiannya.
Keterampilan berbicara dapat dipandang juga sebagai wujud ekspresi. Ekspresi selalu berkaitan dengan perasaan. Dengan demikian, keterampilan berbicara sebagai wujud ekspresi dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan apa yang dirasakan atau diinginkan. Jika berbicara sebagai seni atau sebagai keterampilan lebih dilihat dari sudut pendengar, berbicara sebagai wujud ekspresi lebih banyak dilihat dari sisi pembicara. Ukurannya adalah apakah yang dirasakan atau diinginkan oleh pembicara sudah terekspresikan atau belum.
Sebagai keterampilan, berbicara memiliki fungsi untuk (1) memberikan informasi, (2) menghibur, (3) membujuk, (4) menarik perhatian, (5) meyakinkan, (6) memperingatkan, (7) membentuk kesan, (8) memberikan instruksi, (9) membangun semangat, dan (10) menggerakkan massa.
2. Bekal Awal dalam Berbicara
Ada tiga hal yang harus dipersiapkan sebelum orang berbicara, yaitu persiapan diri, persiapan materi, dan persiapan pendukung. Persiapan diri berkaitan dengan kondisi jasmani dan rohani pembicara, persiapan materi berkaitan dengan materi atau bahan pembicaraan yang akan disampaikan, dan persiapan pendukung mencakupi persiapan ilmu, persiapan vokal, dan persiapan bahasa.
Persiapan-persiapan tersebut akan menentukan berhasil-tidaknya seseorang dalam berbicara. Pembicara yang kurang persiapan tentu akan mengalami kegagalan dalam berbicara. Pembicara yang kurang persiapan materi, misalnya, akan (1) terlalu cepat mengakhiri pembicaraan, (2) penyapaian pembicaraan terputus-putus atau tidak runtut, dan (3) kalau terjadi dialog pembicara akan kewalahan menjawab pertanyaan.
Seorang ahli retorika, Natalie Rogersmengungkapkan bahwa kunci keberhasilan berbicara ada pada keyakinan diri dan pelatihan. Keyakinan diri menyangkut kemauan dan kesungguhan, sedangkan pelatihan menyangkut pengasahan keterampilan. Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa keahlian yang harus ditumbuhkan agar seseorang mampu tampil di depan publik secara baik. Keahlian yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1)         Keahlian menutup diri
Keahlian ini menyangkut kemampuan menutup semua pikran atau rangsangan negatif yang datang dari pendengar. Dengan demikian seorang pembicara akan dapat secara mantap melanjutkan pembicaraannya.

(2)         Keahlian berkonsentrasi
Keahlian ini menyangkut kemampuan mengendalikan semua pikiran, ingatan, dan imajinasi untuk memusatkan perhatian pada pembicaraan.
(3)         Keahlian koordinasi
Keahlian ini menyangkut kemampuan bergerak dengan mudah dan menggunakan berbagai bentuk isyarat untuk menyatakan perasaan.
(4)         Keahlian mengendalikan diri
Keahlian ini menyangkut kemampuan mengontrol gerakan-gerakan yang tidak terkendali, seperti menggerak-gerakkan tangan secara berlebihan, menganggukkan kepala, menggoyangkan badan, berpindah dari satu kaki ke kaki yang lain, atau mengontrol tubuh yang  gemetar.
(5)         Keahlian mengendalikan emosi
Keahlian ini menyangkut kemampuan mengendalikan dan mengurangi rasa cemas,
panik, dan takut.
(6)         Keahlian mereaksi
Keahlian ini menyangkut kemampuan menanggapi pertanyaan, gangguan, selingan, dan kejadian-kejadian yang tidak direncanakan secara tenang dan nyaman.
(7)         Keahlian menumbuhkan kehangatan
Keahlian ini menyangkut kemampuan bersikap cukup rileks, sehingga bisa menyisipkan sedikit humor, kepedulian, dan kesungguhan ke dalam pidato.
(8)         Keahlian menumbuhkan kharisma
Keahlian ini menyangkut kemampuan memunculkan gambaran diri yang mantap dan terpuji.
(9)         Keahlian berpikir spontan
Keahlian ini menyangkut kemampuan menghilangkan kebiasaan berpikir seperti mesin dan membiasakan diri untuk berpikir secara kreatif.
(10)     Keahlian pemahaman tentang tubuh
Keahlian ini menyangkut kemampuan memahami penampilan fisik sehingga menjadi pusat perhatian pendengar.
(11)     Keahlian untuk melawan
Keahlian ini menyangkut kemampuan untuk mengenali dan menolak dorongan untuk bersikap terburu-buru, menahan diri, dan mengendalikan kesadaran.
(12)     Keahlian vokal
Keahlian ini menyangkut kemampuan bagaimana membuat pita suara tetap santai, sehingga suara yang keluar tetap mengalir tanpa gangguan.
(13)     Keahlian berimajinasi
Keahlian ini menyangkut kemampuan membayangkan dan memvisualisasikan urutan kejadian saat dari cerita yang dikembangkan dan kemampuan untuk belajar berbicara tanpa terlalu bergantung kepada catatan.
Henry Guntur Tarigan menyebut ciri-ciri pembicara yang ideal adalah sebagai berikut.
(1)         Mampu memilih topik yang tepat.
(2)         Menguasai materi.
(3)         Memahami latar belakang pendengar.
(4)         Memahami situasi.
(5)         Merumuskan tujuan yang jelas.
(6)         Menjalin kontak dengan pendengar.
(7)         Memiliki kemampuan linguistik.
(8)         Menguasai pendengar.
(9)         Memanfaatkan alat bantu.
(10)     Meyakinkan dalam penampilan.
(11)     Mempunyai rencana.

B.  Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Dalam
      Kurikulum KTSP Tingkat SMA
Gambaran mengenai standar kompetensi dan kompetensi dasar aspek keterampilan berbicara di dalam KTSP SMA 2006 adalah sebagai berikut.

a. Kelas X
Semester 1
Standar Kompetensi :
  1. Mengungkapkan pikiran, perasaan, perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita.
  2. Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi
Kompetensi Dasar:
  1. Memperkenalkan diri dan orang lain di dalam forum resmi dengan intonasi yang tepat.
  2. Mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari berbagai berita, artikel, atau buku).
  3. Menceritakan berbagai pengalaman dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat.
  4. Mengemukakan hal-hal yang menarik atau mengesankan dari cerpen melalui kegiatan diskusi.
  5. Menemukan nilai-nilai cerpen melalui kegiatan diskusi.
Semester 2
Standar Kompetensi
  1. Mengemukakan komentar terhadap informasi dari berbagai sumber.
  2. Mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi.
Kompetensi Dasar:
  1. Memberikan kritik terahap informasi dari media cetak dan atau elektronik.
  2. Memberikan persetujuan/dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media cetak dan atau elektronik.
  3. Membahas isi puisi berkenaan dengan gambaran penginderaan, perasaan, pikiran, dan imajinasi melalui diskusi.
  4. Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi.

b. Kelas XI
Semester 1
Standar Kompetensi:
  1. Mengungkapkan secara lisan informasi hasil membaca dan wawancara.
  2. Memerankan tokoh dalam pementasan drama.
Kompetensi Dasar:
  1. Menjelaskan secara lisan uraian topik tertentu dari hasil membaca (artikel atau buku)
  2. Menjelaskan hasil wawancara tentang tanggapan narasumber terhadap topik tertentu.
  3. Menyampaikan dialog disertai gerak gerik dan mimik sesuai dengan watak tokoh.
  4. Mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh protagonis dan atau antagonis.
Semester 2
Standar Kompetensi:
  1. Menyampaikan laporan hasil penelitian dalam diskusi atau seminar.
  2. Mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan drama.
Kompetensi Dasar:
  1. Mempresentasikan hasil penelitian secara runtut dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
  2. Mengomentari tanggapan orang lain terhadap presentasi hasil penelitian.
  3. Mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama.
  4. Menggunakan gerai gerik, mimik, dan intonasi sesuai dengan watak tokoh dalam pementasan drama.
c. Kelas XII
Semester 1
Standar Kompetensi:
  1. Mengungkapkan gagasan, tanggapan, dan informasi dalam diskusi.
  2. Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi.
Kompetensi Dasar:
  1. Menyampaikan gagasan dan tanggapan dengan alasan yang logis dalam diskusi.
  2. Menyampaikan intisari buku nonfiksi dengan menggunakan bahasa yang efektif dalam diskusi.
  3. Menanggapi pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
  4. Mengomentari pembacaan puisi baru tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
Semester 2
Standar Kompetensi:
  1. Mengungkapkan informasi melalui presentasi program/proposal dan pidato tanpa teks.
  2. Mengungkapkan tanggapan terhadap pembacaan puisi lama.

Kompetensi Dasar:
  1. Mempresentasikan program kegiatan/proposal.
  2. Berpidato tanpa teks dengan lafal, intonasi, nada, dan sikap yang tepat.
  3. Membahas ciri-ciri dan nilai-nilai yang terkandung dalam gurindam.
  4. Menjelaskan keterkaitan gurindam dengan kehidupan sehari-hari.
Dari standar kompetensi tersebut dapat dilihat bahwa aspek keterampilan berbicara yang harus dikuasai siswa meliputi:
(1)         berkenalan,
(2)         berdiskusi,
(3)         bercerita,
(4)         mengomentari,
(5)         menjelaskan,
(6)         menyampaikan laporan,
(7)         berpidato, dan
(8)         bermain drama.

C. Metode Pembelajaran Berbicara

Metode pengajaran berbicara yang baik selalu memenuhi kriteria. Kriteria itu berkaitan dengan tujuan, bahan, pembinaan keterampilan proses, dan pengalaman belajar. Kriteria yang harus dipenuhi oleh metode pembelajaran berbicara antara lain, adalah:

1.      Relevan dengan tujuan pembelajaran
2.      Mengetahui memudahkan siswa memahami materi pengajaran
3.      Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang
4.      Meransang siswa untuk belajar
5.      Mengembangkan siswa untuk belajar
6.      Mengembangkan kreativitas siswa
7.      Tidak menuntut peralatan yang rumit
8.      Mudah dilaksanakan
9.      Menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan.
Cara guru mengajar sangat berpengaruh kepada cara siswa belajar. Bila guru mengajar hanya melalui metode ceramah saja, maka dapat diduga hasil berupa pemahaman materi yang bersifat teoritis. Mengajar keterampilan berbicara hendaknya jangan sampai tenggelam dalam penyakit lama, penyakit secara rutin, monoton, tanpa variasi (Budinuryanta dan kawan-kawan, 1997:10. 25).
Penulis menyajikan sejumlah metode pembelajaran berbicara, setiap metode akan diuraikan, sehingga mudah dipahami, dan dihayati serta dapat dipraktekkan dalam pengajaran berbicara di sekolah.
1.      Ulang ucap
Metode ucapan adalah suara guru atau rekaman suara guru, model pengucapan yang diperdengarkan kepada siswa harus dipersiapkan dengan teliti. Suara guru harus jelas, intonasi cepat, dan kecepatan berbicara normal. Model ucapan diperdengarkan di depan kelas, siswa mengajarkan dengan teliti lalu mengucapkan kembali sesuai dengan model.
2.      Lihat dan ucapkan
Guru memperlihatkan kepada siswa benda tertentu kemudian siswa menyebutkan nama benda tersebut, benda-benda yang diperlihatkan dipilih dengan cermat disesuaikan dengan lingkungan siswa, bila bendanya tidak ada atau tidak memungkinkan di bawah kelas, benda tersebut dapat diganti oleh tiruannya atau gambarnya.
3.      Memeriksa/mendeskripsikan   
Siswa disuruh memperlihatkan suatu benda atau gambar benda, kesibukan lalu lintas, melihat pemadangan atau gambaran diteliti, kemudian siswa diminta memeriksa apa yang dilihatnya secara lisan.
4.      Pertanyaan Menggali
Salah satu cara membuat banyak berbicara adalah pertanyaan menggali, disamping memancing siswa berbicara, pertanyaan menggali juga digunakan untuk menilai kedalaman dan keluasan pemahaman siswa terhadap sesuatu masalah.
5.      Melanjutkan cerita
Dua, tiga atau empat siswa bersama-sama menyusun cerita secara spontan, kadang-kadang guru boleh juga terlibat dalam kegiatan tersebut, misalnya guru menguasai cerita dan cerita itu dilanjutkan siswa pertama, kedua, dan diakhiri dengan siswa berikutnya.
6.      Menceritakan kembali    
Guru menyediakan bahan yang agak panjang. Bahan itu diberikan kepada siswa untuk dibaca dan dipahami. Kemudian siswa disuruh menceriterakan kembali isi bacaan yang dibacanya.
7.      Percakapan
Percakapan adalah pertukaran pikiran atau pendapat mengenai sesuatu topik antara dua atau lebih pembicara (Greene & Patty dalam Budinuryanta, 1997: 10.32). Dalam percakapan ada dua kegiatan, yakni menyimak dan berbicara silih berganti, suasana dalam percakapan biasanya akrab, spontan, dan wajar. Topik pembicaraan adalah hal yang diminati bersama. Percakapan merupakan suasana pengembangan keterampilan berbicara.
8.      Parafrase
Parafrase berarti alih bentuk, misalnya memproseskan isi atau sebaliknya mempuisikan prosa, bila seorang siswa dapat memprosakan suatu puisi dengan baik berarti siswa tersebut dapat mengekspresikan isi puisi tersebut, secara lisan. Puisi yang akan diperafrasekan dapat dipilih oleh guru agar sesuai dengan kemampuan siswanya.
9.      Reka cerita Gambar
Siswa dapat dipancing berbicara melalui stumulus gambar, guru mempersiapkan gambar benda tertentu seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, mobil, kereta api, kapal, dan sebagainya, gambar itu dapat pula sketsa di pasar, stasiun, di sawah, pertokoan, dan sebagainya. Siswa diinstruksikan mengamati dan memperhatikan gambar tersebut, hasil pengamatan itu kemudian diungkapkan secara lisan.
10.  Berceritera
Berceritera atau menceritakan suatu ceritera tertentu di depan umum menuntut keterampilan berbicara, gaya berceritera yang menarik, intonasi yang tepat, pengurutan  cerita yang cocok harus dikuasai  benar-benar.
Pertama-tama siswa disuruh memilih cerita yang menarik bagi dirinya dan bagi pendengarnya. Kemudian siswa menguasai isi dan jalan cerita atau menghafalkan cerita itu, setelah itu baru siswa berceritera di depan pendidikan dengarnya. Melalui kegiatan berceritera siswa mengembangkan keterampilan berbicara.       
11.  Bermain peran
 Teknik bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa dalam menggunakan ragam-ragam bahasa, cara berbicara orang tua tentu berbeda dengan cara anak-anak berbicara. Cara penjual berbicara berbeda pula dengan cara berbicara pembeli.
Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa sesuai dengan peran orang yang diperankannya. Misalnya sebagai guru, orang tua, polisi, hakim, dokter, dan sebagainya. Setiap tokoh  yang diperankan karakteristik tertentu pula.


12.  Wawancara
Wawancara atau intervieu adalah percakapan dalam bentuk tanya-jawab. Wawancara dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara. Pada hakekatnya wawancara adalah bentuk kelanjutan dari percakapan. Percakapan dan tanya jawab sudah biasa digunakan sebagai metode pengajaran berbicara.
13.  Diskusi
Diskusi ialah proses pelibatan dua atau lebih individu yang berinteraksi secara verbal tatap muka, mengenai tujuan yang sudah tentu melalui cara tukar menukar informasi untuk memecahkan masalah (Kim dalam Budinuryanta dan kawan-kawan, 1997:10.40). Pada hakikatnya diskusi adalah percakapan dalam bentuk lanjut, cara, isi, dan bobot pembicaraan lebih tinggi atau lebih kompleks dari percakapan biasa, berdiskusi berjenis-jenis, misalnya diskusi meja bundar, diskusi kelompok, diskusi panel, simposium, kolom debat, dan lain-lain.
14.  Dramatisasi
Dramatisasi atau bermain drama adalah mentaskan lakon atau cerita. Biasanya cerita yang dilakonkan sudah dalam bentuk drama. Guru dan siswa harus mempersiapkan naskah atau skenario, perilaku, perlengkapan, seperti pakaian, ruangan, dan peralatan lainnya yang diperlukan. Melalui teknik dramatisasi siswa dilatih mengekspresikan  pikirannya dalam bentuk lisan.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Dalam pembelajaran keterampilan berbicara persoalan yang juga penting untuk diperhatikan adalah persoalan penilaian. Penilaian keterampilan berbicara dapat menggunakan penilaian kinerja yang bertujuan untuk menguji kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu. Penilaian kinerja mempunyai dua karakteristik, yaitu (1) siswa diminta untuk mendemonstrasikan kemampuannya dalam mengreasikan suatu produk atau terlibat dalam suatu aktivitas dan (2) produk dari penilaian kinerja lebih penting daripada kinerjanya. Pemilihan mengenai apakah yang akan dinilai itu produk atau kinerjanya akan sangat bergantung kepada karakter domain yang diukur.
2.      Standar kompetensi tersebut dapat dilihat bahwa aspek keterampilan berbicara yang harus dikuasai siswa dalam kurikulum KTSP tingkat SMA meliputi:
a.       berkenalan,
b.      berdiskusi,
c.       bercerita,
d.      mengomentari,
e.       menjelaskan,
f.       menyampaikan laporan,
g.      berpidato
h.      bermain drama.
3.      Metode pembelajaran keterampilan  berbicara, diantara:
    1. Ulang ucap
    2. Lihat dan ucapkan
    3. Memeriksa/mendeskripsikan
    4. Pertanyaan Menggali
    5. Melanjutkan cerita
    6. Menceritakan kembali    
    7. Percakapan
    8. Parafrase
    9. Reka cerita Gambar
    10. Berceritera
    11. Bermain peran
    12. Wawancara
    13. Diskusi
    14. Dramatisasi



Daftar Pustaka

Budinuryanta dkk. 1999. Pengajaran Keterampilan Berbahasa (Modul 1-9). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
   
Departemen Pendidikan Nasional (2006), kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta : Puskur

Patombongi, A. Wardihan, dkk. Telaah Kurikulum Bahasa Indonesia. Makassar: UNM

Tarigan, Henry Guntur. 1981. Berbicara sebagai Sesuatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Mulyasa-----( 2007)., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (sebuah panduan praktis) Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Soetopo. (1993)., Pengembangan kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.

------------. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.






JENIS-JENIS WACANA


A.    Pengantar
Istilah ‘analisis wacana’ ternyata telah dipakai dengan berbagai macam arti yang mencakup berbagai macam kegiatan. Istilah tersebut dipakai untuk mendeskripsikan kegiatan-kegiatan pada persilangan berbagai disiplin linguistik yang berbeda, seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, linguistik filosofis, dan linguistik komputasi. Para ahli sosiolinguistik terutama memerhatikan struktur interaksi sosial  yang dinyatakan dalam percakapan, dan deskripsi-deskripsi mereka dititikberatkan pada ciri-ciri konteks sosial yang terutama dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi sosiologis.
          Analisis wacana, tentunya, adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Analisis wacana berperan penting dalam proses belajar bahasa, terutama keterampilan bahasa yang bersifat produktif, misalnya bertutur kata dan menulis. Kita mengenal istilah keutuhan (unity) dan keruntutan (coherence) baik dalam satu paragraf, maupun dalam satu karangan utuh dalam menulis.
          Besarnya peranan analisis wacana dalam proses belajar keterampilan berbahasa (baik yang bersifat rekognitif maupun yang bersifat produktif) juga diperkuat oleh salah satu aspek pragmatik yang disebut the theory implicature, yang telah diperkenalkan oleh H.P.Grice, (1975) tentang teori yang berkaitan dengan cara bagaaimana menggunakan bahasa.
1.     Fungsi Bahasa
Bahasa adalah alat vital bagi manusia karena dipakai untuk berkomunikasi, tanpa bahasa manusia tak dapat berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Bahasa adalah salah satu ciri pembeda utama manusia dengan makhluk lainnya.
Bahasa mempunyai fungsi yang amat penting bagi manusia, terutama sekali fungsi komunikatif. Sejumlah ahli bahasa telah menaruh perhatian terhadap fungsi bahasa ini.
Halliday (1973) dalam bukunya yang berjudul Explorations in the Functions of Languge, mengemukakan tujuh fungsi bahasa yaitu:
a.  Fungsi instrumental (the instrumental function).
b.  Fungsi regulasi (the regulasi function),
c.  Fungsi pemerian (the representational function)
d.  Fungsi interaksi ( the interactional function)
e.  Fungsi perorangan (the personal fungction)
f.   Fungsi heuristic ( the heuristic)
g.  Fungsi imajinatif (the imaginative function)


2.     Pengertian Wacana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1991), pengertian wacana yaitu: 1 ucapan;perkataan; tutur; 2 keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan; 3 satuan bahasa terlengkap,realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh,seperti novel, buku atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dsb. Menurut Poerwadarminta, wacana sebagai ucapan, percakapan, dan kuliah
Dalam salah satu kamus bahasa Inggris yang terkemuka wacana atau discourse dapat digambarkan sebagai berikut:
“Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari (yang diturunkan dari dis ‘dari’dalam arah yang berbeda, dan currere ‘lari’), yaitu:
a.     Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konvensi atau percakapan.
b.     Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.
c.     Risalah tulis; disertasi formal; kuliah atau ceramah;khotbah, (Webster, 1983:522)
d.     Selanjutnya dikatakan dalam kamus Webster, wacana atau discouse diartikan sebagai “connected speeh or writing consisting of more than one sentence.”
Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaran di depan umum,tulisan serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon. Wacana mencakup keempat penggunaan bahasa, yaitu:
a.   Ekspresi diri sendiri
b.   Eksposisi
c.    Sastra
d.   Persepsi (Landsteen,1976:111; Tarigan, 1985:16-17).

3.     Pengertian Analisis Wacana
Kartomiharjo  (1991) mengemukakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Prinsip-prinsip dasar lain mengenai pengertian analisis wacana yang masih dapat diramuh dari beberapa ahli lain seperti Merit, Acheggloff dan Sacks, Frasswer, Richard, Halliday and Hasan, Givon, antara lain sebagai berikut:
Analisis wacana bersifat interpretasi pragmatis,baik untuk bahasanya    maupun untuk maksudnya (form and notion).
a.     Analisis wacana banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan pengetahuan yang luas. Semua unsur yang terkandung dalam wacana sebagai suatu rangkaian.
b.     Pada dasarnya bahan-bahan yang diperlukan merupakan sesuatu   yang benar-benar terjadi yang diwujudkan dalam situasi yang sebenarnya.
c.     Khusus untuk wacana dialog, kegiatan analisis terutama berkaitan dengan pertanyaan, jawaban, kesempatan berbicara, penggalan percakapan,dll

B.    Jenis-jenis Wacana
1.     Jenis Wacana dari Segi Penyusunannya
Sugirah Wahid, Juanda (2006), dalam bukunya yang berjudul  Analisis Wacana, mengemukakan bahwa ada lima jenis wacana ditinjau dari segi penyusunannya, yaitu:
a.     Wacana Deskripsi
Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata terhadap suatu tempat, benda, keadaan atau suasana. Penulis deskripsi mengharapkan pembacanya melalui tulisannya dapat melihat apa yang dilihatnya, dapat mendengar apa yang didengarnya, mencium bau apa yang diciumnya, mencicipi apa yang dimakannya, merasakan apa yang dirasakannya, serta sampai pada kesipulan yang sama dengannya. Maka itu dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil dari observasi melalui panca indra,yang disampaikan dengan kata-kata.
Secara garis besarnya deskripsi terbagi dalam dua jenis, yaitu:
1)   Wacana ekspositori
Wacana yang sangat logis, yang isi biasanya merupakan daftar rincian, semuanya atau yang menurut penulisnya hal yang penting-penting saja.
Contoh:
Ruang tempat kami belajar tidaklah luas,hanya 7 m x 10 m. Bangku kami berjajar teratur empat baris ke belakang. Pada dinding depan kelas tergantung papan tulis hitam 1 m x 2 m. Dua lukisan mengapitnya. Di sebelah kiri gambar Garuda Indonesia dan di sebelah kanan gambar presiden. Meja guru terdapat di pojok kiri. Alasannya berwarna cerah dan sekali seminggu diganti. Kami selalu meletakkan bunga yang segar dalam jambangan di atas meja itu, karena senang melihantnya. Di sebelah kiri kami, delapan jendelah besar memasukkan cahaya matahari dan hawa segar ke dalam kelas. Dindingnya polos, tiada hiasan, kecuali kalender dekat meja guru.

2)    Wacana Impresionistis
Wacana yang isinya lebih menenkankan impresi atau kesan penulisnya ketika melukukan observasi, atau ketika m   enuliskan impresi tersebut.
          Contoh:
          Musim kemarau yang panjang dan kering tahun in merupakan bencana bagi daerah kami. Sungai yang mengalir di tengah-tengah kota kering kerontang. Bahkan sumur pun banyak yang tidak berair lagi. Tampak berdesak orang menunggu giliran menimba air di sumur kami, satu-satunya yang tidak kering. Sawah ladang seperti hangus oleh terik matahari. Tanah pecah berbungkah-bungkah.tanaman hamper tiada yang tinggal hijau. Rumput kering kecoklat-coklatan hampir mati. Sapi, kerbau, kuda dan kambing sudah sebulan ini diungsikan ke daerah yang sungainya masih mengalir.


b.     Wacana Narasi
Wacana narasi adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui suatu penonjolan tokoh pelaku (orang I atau orang III) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui alur (plot).
Contoh:
Andi Ruslan benar-benar mahasiswa yang patut diteladani oleh teman sekampusnya. Otaknya yang cemerlang, dan penempilannya yang sederhana menjadikannya sahabat baik bagi mahasiswa maupun mahasiswi. Dilahirkan dari keluarga yang sederhana tidak membuatnya berkecil hati. Sejak ia kuliah pada semeter dua, perkenalannya dengan dosen dan temannya dianggapnya sebagai peluang.
Dengan kepercayaan diri yang cukup. Ruslan menawarkan jasa mengantarkan Koran dan majalah pilihan dosen dan orang tua sekampungnya.dengan jasa loper ini Ruslang membiayai kuliah dan hidupnya sehari-hari.
Sementara kuliah yang diprogramkannya diselesaikan dengan baik dari semester kesemester. Kini ia menduduki semester kedelapan. Kuliah kerja nyata diprogramkannya bersama penyusunan skripsi. Atau penyelesaian skripsi ini pun bagi Ruslang merupakan peluang. Ia sudah siap dengan bisnis baru. Bersama teman-temannya ia akan mengelolah surat kabar mingguan.     

Sebuah wacana narasi mempunyai unsur-unsur pembangun. Adapun unsur-unsur pembanguan sebuah narasi,yaitu:
1.     Alur : Kejadian, Tokoh, dan Konflik
Narasi merupakan cerita yang didasarkan pada urutan-urutan sesuatu (serangkaian  kejadian atau peristiwa). Di dalam kejadian itu ada tokoh atau beberapa tokoh, dan tokoh ini mengalami atau menghadapi suatu atau serangkain konflik atau tikaian. Kejadian ,tokoh,dan konflik ini merupakan unsur pokok sebuah narasi, dan ketiganya secara kesatuan biasa disebut plot atau alur. Dengan demikian adalah narasi yang berdasarkan alur.
2.     Latar
Alu ini tentulah tidak dapat terjadi suatu waktu, kekosongan. Mestilah ada waktu dan adapula tempat kejadiaan itu berlangsung. Dengan demikian kita mengatakan bahwa alur itu memunyai latar waktu dan latar tempat.
3.     Posisi Narator
Istilah point of view dala kaitannya dengan narsi bukan saja berarti sudut pandang tetapi juga lebih dalam dari itu karena menyangkut struktur gramatikal sebuah narasi. Ini menyangkut siapa yang bercerita di dalam narasi itu,dan ini sangat mempengaruhi struktur cerita itu. Oleh Karena itu, di sini poin of view itu kita terjemahkan saja dengan posisi narrator.
Dalam sebuah narasi tentulah ada yang bercerita, yang menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. Pada satu ujung kita melihat ada cerita yang memakai aku atau saya sebagai tokoh utama dalam cerita itu. Dengan sendirinya apa yang kita dapatkan dari cerita itu adalah apa-apayang dilihat,didengar serta dialami oleh aku itu. Jalan pikiran, pergolakan perasaan,dugaan dan kesimpulan yang dihidangkan pun berasaldari aku itu juga. Yang tidak dilihat, tidak didengar atau diketahuinya tentulah tidak bias diceritakannya kepada kita.
Jadi, narator dalam cerita ini adalah pelaku utama. Narasi seperti ini sering disebut sebagai narasi dengan posisi sebagai orang pertama atau akuan.

4.     Pola Narasi
Menurut Aristoteles (abad IV sebelum Masehi), sebuah narasi terdiri atas tiga bagaian yaitu awal, tengah dan akhir. Awal itu menurut dia haruslah seperti mata pancing dengan umpan yang lezat, sehingga begitu orang membacanya, hatinya langsung terpaut. Awal itu harus memperkenalakan tokoh-tokoh yang memainkan peranan di dalam cerita itu, serta memberikan latarbelakang yang diperlukan untuk kelancaran cerita. Di samping itu semua,awal itu harus pula menyiratkan atau memberikan lancaran bagaimana kira-kira cerita itu akan berakhir.
Bagian tengah dimulai ketika di dalam cerita itu mulai muncul konflik, tikaian atau keruwetan, yang menjurus kekonflik.  Konflik itu bisa bersifat nonfisik. Konflik ini biasanya memang diakhiri dengan sebuah ledakan yang biasa disebut klimaks. Bahkan  ada pula narasi yang akhirnya tidak dituliskan,hanya tersirat, dan pembaca dipersilakan menduga sendiri.
Itula pola narasi cara Aristoteles. Sekarang ini pun, cara itu masih bayak dipakai orang. Tetapi ada pula penulis yang mencari dan menciptakan gaya sendiri.

c.  Wacana Ekspositori
Rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan suatu pokok pikiran disebut wacana ekspositori. Tujuan yang ingin dicapai wacana ini adalah tercapainya tingkat pemahaman terhadap sesuatu agar lebih jelas, mendalam, dan luas dari sekedar pernyataan yang bersifat global atau umum. Wacana eksipositori kadang-kadang berbentuk ilustrasi dengan contoh; berbentuk perbadingan, berbentuk uraian kronologis, dan juga berbentuk ciri (identifikasi) dengan orientasi pada materi, bukan kepada tokohnya.Wacana eksposisi lebih menekankan pada bentuk daripada isi. Isinya memang menyingkapkan sesuatu, tetapi bentuknya harus jelas.
Wacana eksposisi sebagai alat untuk menyingkapkan pikiran dan perasaan agaknya sudah banyak ditinggalkan orang. Tidak lagi kita jumpai di dalam media massa tulisan-tulisan eksposisi  murni. Namun, di sekolah-sekolah masih diajarkan, Karena eksposisi erat sekali hubungannya dengan berpikir logis dan sistematis. Di samping itu, juga karena eksposisi merupakan pola dasar penulisan ilmiah. Makalah-makalah sekolah, sampai makalah seminar serta penataran, masih dituliskan dalam bentuk eksposisi. Demikianlah pula skripsi atau bahkan disertasi.
Hal ini perlu semua dikuasai oleh siswa dan mahasiswa. Mereka perlu diajar mengambil sikap, dan dilatih untuk mendukung sikap itu dan mengutarakannya secara logis. Namun, berpikir logis dan sistematis ini hanya bias dicapai siswa jika mereka diminta menuliskan wacan eksposisi. Bukan diajarkan apa eksposisi itu, tipe ciri-cirinya, apa gunanya, dan segala hal-hal teoretis seperti itu. Mereka perlu diberikan latihan bukan teori.
Contoh:
Telah kita saksikan bersama,masalah transportasi makin lama makin berkembang, baik transportasi darat,laut maupun udara. Ketiga bentuk transportasi itu mengalami kemajuan yang pesat, sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya pada masa silam transportasi darat, laut, dan udara itu sangat sederhana, tetapi sekarang bukan main main majunya,hamper semua transportasi itu serba mewah dan canggih sesuai dengan perkembangan teknologi dewasa ini.
Kiranya sangat perlu kita telusuri perkembangan transportasi masa silam sampai dewasaini. Zaman nenek moyang kita kalau akan bepergian, mereka tidak pernah menaiki kendaraan seperti sekarang ini, mereka cukup berjalan kaki saja walaupun jalan yang akan ditempuh cukup jauh, memakan waktu berbulan-bulan berminggu-minggu, berhari-hari. Mereka tak gentar, tak putus asa, semua mereka jalani dengan hati yang senang, gembira, tak pernah mereka mengeluh, tak pernah mereka menggerutu karena lelah, tetapi mereka tetap berjuang pokoknya bias sampai di tempat tujuan.



d.  Wacana Prosedural
Wacana prosedural merupakan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak boleh dibolak-balik  unsurnya, karena urgensi unsur yang lebih dahulu menjadi landasan unsur berikutnya. Wacana itu biasanya disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengerjakan sesuatu, misalnya membuat kue, mempersiapkan makanan, perawatan tanaman, merawat alat-alat rumah tangga yang memerlukan prosedur atau mengaktifkan komputer.
Contoh:
Cara membuat Martabak Manis
Bahan-bahan
 250 gram tepung terigu; 375 cc santan, hangatkan sebentar; 150 gram gula pasir; 2 butir telur 1 sendok the gist/ragi instant; ¼ sendok the soda kue;50 gram kacang tanah (sangrai, kupas, cincang); 50 gram biji wijen, sangrai; 50 gram coklat/meisjes;50 cc susu kental manis.


Cara mengolah
1.    Masukkan ragi ke dalam santang hangat, aduk sampai larut dan berbusa, sisihkan.
2.    Campur tepung terigu dengan gula, buat lubang ditengahnya, lalu isi dengan telur.
3.    Aduk sambil dituangi larutan santan sampai rata dan gula larut.
4.    Masukkan soda kue, aduk kembali, biarkan sekitar 15 menit di tempat hangat.
5.    Panaskan penggorengan,olesi dengan margarine.
6.    Tang adonan, tunggu sampai naik.
7.    Sebelum permukaanya mongering, taburi dengan sebagian kacang tanah, wijen, gula pasir , coklat/meisjes, dan susu kental manis.
8.    Lipat menjadi dua, angkat.
9.    Sajikan hangat.

e.     Wacana Hortotorik
Wacana hortotorik adalah tuturan yang isinya bersifat ajakan atau nasehat, kadang-kadang tuturan itu bersifat  memperkuat keputusan atau agar lebih meyakinkan. Sedangkan tokoh penting di dalamnya adalah orang II. Wacana tidak disusun bersarkan urutan waktu tetapi merupakan hasil atau produksi suatu waktu.
Contoh:
Nasehat orang tua kepada anaknyayang akan memulai wirausaha
“Kaudengar pesan bapakmu dalam meniti wirausaha, harta terbesar untuk mempertahankan kemampuan wirausaha adalah sikap positif. Disamping itu, tekad, pengalaman, ketekunan dan bekerja keras adalah prasyarat pokok untuk menjadi seorang wirusahawan yang berhasil. Satu lagi anakku, sikap mentalyang tepat terhadap pekerjaan sangatlah penting. Para wirausaha yang berhasil menikmati pekerjaan mereka dan berdedikasi total terhadap apa yang mereka lakukan. Sikap mental positif mereka mengubah pekerjaan mereka menjadi pekerjaan yang menggairahkan, menarik dan member kepuasan.”

Sebuah wacana dalam bahasa Bugis sebagai berikut:
Resopa temmangingi malomo naletei pammase dewata.
Artinya: “Orang yang bekerja keras atau tidak putus asa akan mendapat rejeki dari Allah SWT”.

Wacana hortotorik juga tampak dalam iklan baik secara lisan maupun secara tertulis.

C.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas, maka kami menyimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.           Wacana dapat berupa rangkaian ujar lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur.
2.           Wacana mengungkapkan suatu hal atau subjek.
3.           Sebuah wacana memiliki satu kesatuan misi dalam rangkain itu.
4.           Sebuah wacana penyajiannya harus teratur,sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi pendukungnya.
5.           Jenis wacana yaitu:
a.           Narasi
b.           Deskripsi
c.           Eksipositori
d.           Prosedural
e.           Hortotorik
  

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan,dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Inonesia. Balai   Pustaka. Jakarta.

Brown, Gillian,dkk. 1996. Discourse Analysis. PT. Gramedia Pustaka  Utama. Jakarta.        

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta..

J. K. Natia. 1994. Pelajaran Mengarang dan Menyusun Karya Tulis.  Penerbit Arkola. Surabaya..

Wahid, Sugira,dkk. 2006. Analisis Wacana. Badan Penerbit UNM. Makassar.